Beberapa hari yang lalu, istri saya membantu dalam hal penyelesaian tugas akhir kuliah S2 yang sedang saya jalani. Ia rela pergi ke tempat fotokopian dan mengeprint serta menjilid tugas akhir yang sudah saya kerjakan dalam beberapa minggu belakangan.
Mengapa bukan saya saja yang kesana? Karena saya bekerja dan ia dengan senang hati berkata, "Sini, biar aku aja, Bi, yang ngeprint di IPB. Disana kan banyak fotokopian yang bisa ngeprint dan harganya murah."
Saya mengiyakan.
Ia berangkat sekitar pukul sembilan pagi dan kembali ketika menjelang Zuhur. Kebetulan memang jarak kampus IPB Dramaga tidak begitu jauh dari tempat saya tinggal. Ketika sampai di rumah, sepulang kerja, istri saya menyerahkan tugas akhir yang sudah ia print dan jilid sambil bilang, "Itu Abi nulis sebanyak itu sendirian? Maksudnya... Bener-bener mulai dari nol tanpa copas dari mana-mana?"
Saya tersenyum, menjawab, "Ya iyalah, masa tugas akhir copas sih? Kenapa emang?"
Istri saya kembali berujar, "Nggak. Cuma keren aja. Tesisnya udah rapi, tebal, dan tadi sempat baca sedikit, tulisannya ngalir. Enak aja gitu bacanya."
Saya menjawab dengan nada sombong yang dibuat-buat, "Oh, tentu saja. Abi kan penulis."
...dan sore itu, berakhir manis untuk kami berdua.
*****
Kemarin, Kamis 30 Maret 2017, saya ke kampus membawa tugas akhir yang sudah disiapkan beberapa hari lalu dengan jantung yang berdebar-debar. Pertama, saya sudah lama nggak ke kampus karena sempat tertawan dengan kesibukan kerja dan kelelahan. Kedua, saya kuatir kalau-kalau tesis saya ditolak diminta mengulang dari awal. Kan bisa bahaya sekali jadinya jika demikian.
Mengerti bahwa suaminya dalam kecemasan, istri saya kembali hadir dan menenangkan, "Insya Allah tesisnya nggak banyak masalah, Bi. Udah rapi kok. Aku bacanya aja seneng. Padahal ini tulisan ilmiah, loh."
Saya memaksa, tersenyum mendengar pujian itu.
Di kampus, saya bertemu dosen dan langsung menyerahkan tesis yang saya bawa. Kami tidak banyak berbicara. Beliau membaca tesis saya sekitar lima belas menit sampai setengah jam, mencoret di beberapa halaman karena menurutnya ada beberapa hal yang harus diperbaiki, sedangkan saya hanya diam saja menyaksikan.
"Tulisannya bagus." beliau berkata singkat dan kepala saya mengembang.
Beliau kembali melanjutkan membaca dan saya diam seribu bahasa.
Setelah beberapa jenak, beliau kemudian menutup tesis saya dan berkata lagi, "Saya nggak mungkin selesai membacanya dalam waktu singkat. Ini tebal sekali. Berapa halaman?"
"160an halaman, Pak."
Ia manggut-manggut, berkata kemudian, "Beberapa bagian yang saya baca tadi, bagus sekali. Dan kalau sampai belakang demikian, maka tesis ini sudah layak dibawa sidang. Perbaiki saja beberapa bagian yang saya koreksi. Hanya kesalahan kecil saja, salah ketik dan tanda baca. Tidak lebih."
Saya mangangguk, mengiyakan.
"Kapan akan kesini lagi? Saya ada di kampus hampir setiap hari."
"Insya Allah Senin, Pak."
"Baik, kalau begitu sampai jumpa Senin dan bawa tesis yang sudah direvisi. Agar segera kelar dan saya tanda tangani, lalu mas Syaiha bisa sidang segera."
*****
Keluar dari ruangan dosen, lega sekali rasanya. Ada kebahagiaan yang membuncah keluar. Saya senang bukan main, karena merasa dimudahkan. Padahal saya baru bimbingan dua kali, eh sudah dibilang bagus dan layak dibawa sidang. Padahal, teman-teman yang lain, kadang butuh beberapa kali baru dipersilakan mengikuti persidangan.
Dulu, ketika kuliah S1, saya juga demikian. Seakan dipermudah saja oleh dosen pembimbing. Pasalnya, saya malah baru sekali menghadap dengan draft skripsi dan langsung dibilang, "Skripsinya udah oke. Minggu depan siap sidang ya?"
...dan kemarin, sama seperti kejadian ketika S1. Baru satu dua kali bimbingan dan langsung mendapatkan pujian.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Saya mengidentifikasi bahwa ini karena kebiasaan saya menulis setiap hari. Walau yang saya tulis setiap hari adalah tulisan ringan dan acak kadut, pelan tapi pasti, ia membuat kualitas tulisan saya meningkat. Tentu beda sekali kualitasnya, antara tulisan saya beberapa tahun yang lalu dengan tulisan saya yang sekarang.
Bahkan nih ya, kalau saya membaca tulisan saya yang beberapa tahun lalu, saya kadang nyengir sendiri. Kok jelek banget ya? Gumam saya di dalam hati.
Terus yang sekarang sudah bagus gitu?
Ya nggak juga. Tapi setidaknya, yang sekarang lebih baik dari yang dulu. Dan ini, membuat saya agak mudah menghasilkan tulisan yang baik dan enak dibaca. Termasuk dalam menghasilkan tulisan tugas akhir pada kuliah yang sedang saya jalani.
Demikian.